Jakarta, CNBC Indonesia – Salah satu pabrik sepatu di daerah Purwakarta, Jawa Barat, yakni PT Sepatu Bata Tbk (BATA) terpaksa harus menyetop produksinya. Hal ini karena pabrik tersebut mengalami penyusutan permintaan sepatu hingga perusahaan merugi selama empat tahun terakhir.

Pengamat Pemasaran dari Inventure, Yuswohady menyebut PT Sepatu Bata babak belur diterjang tiga disrupsi sekaligus, yakni disrupsi digital, disrupsi milennial, dan disrupsi pandemi covid-19. Tiga disrupsi itulah yang menyebabkan merek sepatu legendaris ini tumbang.

“Jadi saya melihatnya ada penyebab yang sifatnya short term, medium term, dan ada yang long term. Nah kalau short term saya kira penyebabnya adalah dampak langsung dari pandemi,” kata Yuswohady kepada CNBC Indonesia, Rabu (8/5/2024).

“Kita tahu pandemi itu orang tidak bisa keluar rumah, sementara sebagian besar toko sepatu Bata ini offline, toko-toko bata yang adanya di second cities atau kabupaten. Karena memang segmennya yang agak menengah dan bawah. Jadi ketika kena pandemi, maka tokonya jadi sepi. Sehingga kemudian permintaannya turun, dan omsetnya jadi turun, dan terbukti di laporan keuangan 4 tahun terakhir sejak 2020 memang drop,” sambungnya.

Kemudian di medium term, Yuswohady melihat PT Sepatu Bata mengalami kendala dalam merespons gelombang disrupsi digital. Di mana katanya, dari sebelum pandemi menyapu, Bata sudah terlambat dan terlalu lamban melakukan digitalisasi proses operasinya.

Sedangkan pada masa itu, telah bermunculan pemain UKM yang lincah memanfaatkan teknologi digital untuk membangun daya saing, seperti merek lokal Compass, Brodo, Aerostreet, dan lain sebagainya. Pemain baru ini, kata Yuswohady, telah berhasil memanfaatkan channel digital, komunitas digital, menciptakan tren ketakutan kehilangan momen atau fear of missing out (FOMO), hingga menciptakan sesuatu yang viral sehingga mereka mampu mencuri pangsa pasar. Pemain jadul seperti Bata pun akhirnya tergusur.




Sepatu BataFoto: Dok PT Sepatu Bata
Sepatu Bata

“Saya kira karena dia kemampuan digitalisasi-nya kurang. Jadi sekarang sepatu tidak bisa hanya mengandalkan kepada toko fisik, tetapi dia mesti agresif melakukan digitalisasi dengan menggunakan channel-channel digital, seperti marketplace. Bukannya dia nggak melakukan, dia melakukan, tetapi effort-nya masih kurang maksimal. Karena dia mindset nya masih lama, cara pengelolaannya masih lama,” terang Yuswohady.

Kemudian disrupsi yang paling fundamental, kata dia, Bata mengalami penuaan brand sejak tahun 1990-an. Ia menyebut Bata sudah mengalami penuaan sistematis karena kurang lincah merespons perubahan. Bata sebagai merek global mengalami brand localization atau jatuh dipersepsi sebagai brand lokal. Padahal, Bata merupakan brand sepatu asal Cekoslowakia.

“Dia tidak bisa mengikuti generasi konsumen yang lebih baru, yaitu konsumen millennial dan Gen Z. Memang sejak tahun 1990-an brand ini mengalami penuaan. Ini adalah brand global, tetapi dipersepsi sebagai brand lokal, yang mana segmennya menengah bawah,” jelasnya.

Dari segi kualitas dan branding, lanjut dia, Bata kerap dipersepsi tidak begitu tinggi dan dianggap sangat ketinggalan jaman. Sebagai brand global legendaris, Bata tentu sudah kalah telak oleh brand pesaingnya seperti Nike dan Adidas

“Nike nggak kalah tua dari Bata. Tetapi Nike kan di tahun 1990-an berkolaborasi dengan Michael Jordan. Jadi artinya mengikuti perkembangan konsumen yang lebih baru, terutama konsumen millennial,” tutur dia.

Yuswohady mengatakan, titik balik turunnya brand Bata ini seiring dengan kelahirannya generasi milenial dan Gen Z, di mana milenial dan gen z ini preferensi gaya berpakaiannya beda dengan generasi sebelumnya, yakni Gen X.

“Nah Bata dianggap sebagai representasi dari generasi yang lama, boomers sama Gen X. Makanya generasi milenial ini menganggap Bata sebagai sebuah brand yang kolonial, sehingga mengalami penuaan lah,” kata Yuswohady.

Kenapa generasi milenial itu menjadi penting?

Lantaran di era sekarang ini, lanjutnya, segmen konsumen yang daya belinya tinggi dan menuju makin tinggi itu adalah milenial. Karena Gen X sendiri sudah mulai pensiun, di mana usia mereka saat ini berada di atas 45-60 tahun, sedangkan boomers 70 tahun.

“Itu kan orang-orang yang sudah pensiun. Kalau sudah pensiun kan nggak punya banyak duit dan spendingnya nggak tinggi. Mereka nggak butuh sepatu yang macam-macam. Tapi kalau generasi milenial dan gen Z kan masih muda, keinginannya banyak, sehingga konsumsi juga berlebih, dan duitnya juga ada. Era sekarang ini pasar dikuasai oleh milenial,” tukasnya.

Yuswohady menyebut Bata seakan terlena dengan core customer-nya yang Boomers dan Gen X. Sehingga ketika generasi yang menguasai pasar berganti, Bata tidak mampu meregenerasi konsumennya.

“Jadi saya sebut, ada triple disruption yang menyebabkan Bata 4 tahun terakhir ini merugi,” pungkasnya.

[Gambas:Video CNBC]



Artikel Selanjutnya


Video: Bata Tutup Pabrik, Badai PHK Hantui RI


(wur)




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *